Berdirinya Kerajaan
Larantuka
Kerajaan Larantuka
diperkirakan berdiri pada abad ke -13 dan menurut catatan sejarah
nasional pada abad ke – 14 kerajaan Larantuka yang meliputi
kepulauan Solor termasuk dalam daerah ke – 4 dari wilayah taklukan
kerajaan Majapahit. Kepulauan Solor terdiri dari pulau Flores
bahagian Timur, pulau Solor , pulau Lembata dan pulau Adonara. Pulau
Solor dahulu lebih dikenal karena hasil cendananya sehingga wilayah
pulau – pulau ini disebut kepulauan Solor.
Mitos
dalam ceritera rakyat menyebutkan bahwa kerajaan Larantuka semula
didirikan oleh seorang tokoh perempuan yang bernama Watowele bersama
suaminya Pati Golo Arakian yang berasal dari keturunan bangsawan
pulau Timor dari kerajaan Wehale yang merupakan tokoh peranakan
perempuan bangsawan Jawa dan bangsawan kerajaan Wehale. Kerajaan itu
semula lebih dikenal dengani kerajaan Ata Jawa sebelum akhirnya
bernama Larantuka.
Watowele merupakan tokoh
keramat yang diyakini dilahirkan dari gunung Ilemandiri dan merupakan
cikal bakal keturunan satu – satunya dinasti yang memerintah
kerajaan Larantuka dan dihormati sebagai keturunan langsung dari
gunung atau keturunan Ile Jadi. Baru pada pemerintahan keturunan ke –
3, yakni raja Sira Demon Pagu Molang kerajaanLarantuka menemukan
bentuk pemerintahan tradisional yang lebih teratur yang tetap
dipelihara hingga berakhirnya kerajaan Larantuka.
Susunan penduduknya
terdiri dari kelompok - kelompok suku Ile
Jadi, yakni mereka yang menganggap dirinya
penduduk asli yang berasal dari pulau atau gunung tertentu dan
kelompok – kelompok suku Tena Mao
atau pendatang, dimana yang datang dari Timur berasal dari Ambon
(suku Seran Gorang) dan dari Lembata dan Alor (suku Kroko Puken),
sementara dari Timur disebut suku Sina – Jawa dan suku Soge Lio.
Kebanyakan suku Ile Jadi terdesak ke pedalaman sedangkan suku
pendatang mendiami daerah pesisir. Sering terjadi perang tanding
perebutan wilayah antara suku – suku kecil. Suku- Suku tersebut
kemudian membangun persekutuan sebagai masyarakat hukum menjadi
landschap – landschap (kerajaan kecil). Landschap Larantuka paling
besar pengaruhnya sampai di pelosok kepulauan sehingga dalam
perkembangannya kemudian kepulauan Solor terpecah, sebahagian besar
masuk swapraja Larantuka dan sebahagian lagi masuk swapraja Adonara.
Bentuk Pemerintahan:
Kekuasaan para raja jaman
dahulu diperoleh terutama karena legitimasi magis melalui
intensifikasi mitos dan ritus adat berdasarkan status keturunannya,
dimana dalam tatanan adat yang berlaku menjadi yang paling utama
(primus inter pares) dan menempati posisi sebagai koten (kepala)
dalam lembaga fungsionaris adat yang disebut: koten – kelen –
hurint – maran.
Transformasi
kekuasaannya dalam pemerintahan secara teritorial adalah sebagai
tampuk pimpinan terhadap sepuluh hamente (kakang lewo pulo ) yang
dibentuknya melalui proses ritus adat sebagai symbol pengakuan,
dimana kesepuluh wilayah tersebut secara ke dalam tetap bersifat
otonom dengan kewajiban memberi upeti kepada raja dan bantuan
logistic dan balatentara yang dibutuhkan kerajaan. Hubungan ini tidak
bersifat hirarkis birokrasi, tetapi berdasarkan nilai magis dan
politis dan terbukti sangat harmonis, efektip dan langgeng. Tiap
hamente membawahi kampong – kampong sebagai masyarakat adat
terkecil.
Pada
pusat kerajaan raja memberi tempat dan kedudukan sebagi wakil yang
dipilih dari unsur suku pendatang ( keroko puken) yang sudah tinggi
peradabannya dan diperkuat melalui hubungan kawin – mawin,
sementara dewan penasihat kerajaan yang disebut Pou Suku Lema
diangkat dari lima kepala kampung besar dalam lingkungan wilayah
pusat kerajaan yakni Larantuka, yang merupakan keturunan dari
Watowele Ile Jadi. Dalam perjalanan diangkat pula pou pengganti dari
unsur pendatang mengganti pou yang punah, dan tetap merupakan lima
pou. Struktur pemerintahan kerajaan Larantuka ini lajim disebut
dengan Pou Suku Lema – Kakang Lewo Pulo.
Secara politis sangat solid dan kuat dan tetap berjalan sampai dengan
berakhirnya masa pemerintahan kerajaan, yakni terhapusnya swapraja
pda tahun 1960an.
Silsilah Raja Raja
Larantuka:
Para raja yang memerintah
kerajaan Larantuka dapat dibagi dalam dua tahap yakni sebelum dan
sesudah dipermandikan menjadi penganut agama katolik sehubungan
dengan kedatangan bangsa Portugis yang mulai berdagang dan
menyebarkan agama katolik di Larantuka pada pertengahan abad ke 16.
Silsilah
para raja sebelum menjadi katolik berturut – turut adalah :
Watowele bersama Patigolo Arakian, Padu Ile, Sira Demo Pagu Molang,
Mauboli, Pati Laga, Sira Napan, Sira Pain, Igo dan Enga (dua
bersaudara), dan Adowurin. Penggunaan nama tersebut diatas
menunjukkan dengan jelas pengaruh Majapahit pada jaman itu.
Selanjutnya
para raja yang memerintah setelah dipermandikan yang menggunakan nama
kristen (disamping gelar nama asli) dan menggunakan marga Diaz Viera
de Godinho ( DVG ) dengan gelar Don, berturut – turut adalah : Don
Fransisko Ola Ado Bala DVG, Don Gaspar I DVG , Don Manuel DVG, Don
Andre I DVG, Don Lorenzo I DVG, Don Andre II DVG, Don Gaspar II DVG,
Don Dominggo DVG, Don Lorenzo II DVG, Don Yohanes Servus DVG,
terakhir Don Lorenzo III DVG yang tercatat sebagai raja yang ke –
21. Pada masa pemerintahan raja – raja ini pernah juga terjadi
kekosongan, dimana kekuasaan diambil alih oleh wakil raja dan juga
trium virat namun dilanjutkan kembali oleh raja – raja keturunan
Ile Jadi yakni keturunan DVG.
Masa
penjajahan Portugis berakhir dalam pemerintahan raja Don Gaspar II
DVG dengan ditandatanganinya traktat Dily pada tahun 1851 dan
selanjutnya kerjn Larantuka diserahkan kepada Belanda. Pada masa itu
kontrak kekuasaan dengan pihak Belanda semula dilakukan melalui
langge verklarijng, namun dalam perjalanannya dipaksakan menjadi
korte verklarijng yang praktisnya sangat merugikan pihak kerajaan
Larantuka.