Jumat, 21 Maret 2014

SEJARAH KERAJAAN LARANTUKA

Berdirinya Kerajaan Larantuka

          Kerajaan Larantuka diperkirakan berdiri pada abad ke -13 dan menurut catatan sejarah nasional pada abad ke – 14 kerajaan Larantuka yang meliputi kepulauan Solor termasuk dalam daerah ke – 4 dari wilayah taklukan kerajaan Majapahit. Kepulauan Solor terdiri dari pulau Flores bahagian Timur, pulau Solor , pulau Lembata dan pulau Adonara. Pulau Solor dahulu lebih dikenal karena hasil cendananya sehingga wilayah pulau – pulau ini disebut kepulauan Solor.
         Mitos dalam ceritera rakyat menyebutkan bahwa kerajaan Larantuka semula didirikan oleh seorang tokoh perempuan yang bernama Watowele bersama suaminya Pati Golo Arakian yang berasal dari keturunan bangsawan pulau Timor dari kerajaan Wehale yang merupakan tokoh peranakan perempuan bangsawan Jawa dan bangsawan kerajaan Wehale. Kerajaan itu semula lebih dikenal dengani kerajaan Ata Jawa sebelum akhirnya bernama Larantuka.
Watowele merupakan tokoh keramat yang diyakini dilahirkan dari gunung Ilemandiri dan merupakan cikal bakal keturunan satu – satunya dinasti yang memerintah kerajaan Larantuka dan dihormati sebagai keturunan langsung dari gunung atau keturunan Ile Jadi. Baru pada pemerintahan keturunan ke – 3, yakni raja Sira Demon Pagu Molang kerajaanLarantuka menemukan bentuk pemerintahan tradisional yang lebih teratur yang tetap dipelihara hingga berakhirnya kerajaan Larantuka.
           Susunan penduduknya terdiri dari kelompok - kelompok suku Ile Jadi, yakni mereka yang menganggap dirinya penduduk asli yang berasal dari pulau atau gunung tertentu dan kelompok – kelompok suku Tena Mao atau pendatang, dimana yang datang dari Timur berasal dari Ambon (suku Seran Gorang) dan dari Lembata dan Alor (suku Kroko Puken), sementara dari Timur disebut suku Sina – Jawa dan suku Soge Lio. Kebanyakan suku Ile Jadi terdesak ke pedalaman sedangkan suku pendatang mendiami daerah pesisir. Sering terjadi perang tanding perebutan wilayah antara suku – suku kecil. Suku- Suku tersebut kemudian membangun persekutuan sebagai masyarakat hukum menjadi landschap – landschap (kerajaan kecil). Landschap Larantuka paling besar pengaruhnya sampai di pelosok kepulauan sehingga dalam perkembangannya kemudian kepulauan Solor terpecah, sebahagian besar masuk swapraja Larantuka dan sebahagian lagi masuk swapraja Adonara.

Bentuk Pemerintahan:
Kekuasaan para raja jaman dahulu diperoleh terutama karena legitimasi magis melalui intensifikasi mitos dan ritus adat berdasarkan status keturunannya, dimana dalam tatanan adat yang berlaku menjadi yang paling utama (primus inter pares) dan menempati posisi sebagai koten (kepala) dalam lembaga fungsionaris adat yang disebut: koten – kelen – hurint – maran.
Transformasi kekuasaannya dalam pemerintahan secara teritorial adalah sebagai tampuk pimpinan terhadap sepuluh hamente (kakang lewo pulo ) yang dibentuknya melalui proses ritus adat sebagai symbol pengakuan, dimana kesepuluh wilayah tersebut secara ke dalam tetap bersifat otonom dengan kewajiban memberi upeti kepada raja dan bantuan logistic dan balatentara yang dibutuhkan kerajaan. Hubungan ini tidak bersifat hirarkis birokrasi, tetapi berdasarkan nilai magis dan politis dan terbukti sangat harmonis, efektip dan langgeng. Tiap hamente membawahi kampong – kampong sebagai masyarakat adat terkecil.
Pada pusat kerajaan raja memberi tempat dan kedudukan sebagi wakil yang dipilih dari unsur suku pendatang ( keroko puken) yang sudah tinggi peradabannya dan diperkuat melalui hubungan kawin – mawin, sementara dewan penasihat kerajaan yang disebut Pou Suku Lema diangkat dari lima kepala kampung besar dalam lingkungan wilayah pusat kerajaan yakni Larantuka, yang merupakan keturunan dari Watowele Ile Jadi. Dalam perjalanan diangkat pula pou pengganti dari unsur pendatang mengganti pou yang punah, dan tetap merupakan lima pou. Struktur pemerintahan kerajaan Larantuka ini lajim disebut dengan Pou Suku Lema – Kakang Lewo Pulo. Secara politis sangat solid dan kuat dan tetap berjalan sampai dengan berakhirnya masa pemerintahan kerajaan, yakni terhapusnya swapraja pda tahun 1960an.                            

Silsilah Raja Raja Larantuka:
Para raja yang memerintah kerajaan Larantuka dapat dibagi dalam dua tahap yakni sebelum dan sesudah dipermandikan menjadi penganut agama katolik sehubungan dengan kedatangan bangsa Portugis yang mulai berdagang dan menyebarkan agama katolik di Larantuka pada pertengahan abad ke 16.
Silsilah para raja sebelum menjadi katolik berturut – turut adalah : Watowele bersama Patigolo Arakian, Padu Ile, Sira Demo Pagu Molang, Mauboli, Pati Laga, Sira Napan, Sira Pain, Igo dan Enga (dua bersaudara), dan Adowurin. Penggunaan nama tersebut diatas menunjukkan dengan jelas pengaruh Majapahit pada jaman itu.
Selanjutnya para raja yang memerintah setelah dipermandikan yang menggunakan nama kristen (disamping gelar nama asli) dan menggunakan marga Diaz Viera de Godinho ( DVG ) dengan gelar Don, berturut – turut adalah : Don Fransisko Ola Ado Bala DVG, Don Gaspar I DVG , Don Manuel DVG, Don Andre I DVG, Don Lorenzo I DVG, Don Andre II DVG, Don Gaspar II DVG, Don Dominggo DVG, Don Lorenzo II DVG, Don Yohanes Servus DVG, terakhir Don Lorenzo III DVG yang tercatat sebagai raja yang ke – 21. Pada masa pemerintahan raja – raja ini pernah juga terjadi kekosongan, dimana kekuasaan diambil alih oleh wakil raja dan juga trium virat namun dilanjutkan kembali oleh raja – raja keturunan Ile Jadi yakni keturunan DVG.
Masa penjajahan Portugis berakhir dalam pemerintahan raja Don Gaspar II DVG dengan ditandatanganinya traktat Dily pada tahun 1851 dan selanjutnya kerjn Larantuka diserahkan kepada Belanda. Pada masa itu kontrak kekuasaan dengan pihak Belanda semula dilakukan melalui langge verklarijng, namun dalam perjalanannya dipaksakan menjadi korte verklarijng yang praktisnya sangat merugikan pihak kerajaan Larantuka.